Antara manusia dan teknologi telah tercipta korelasi yang sedemikian erat. Kepiawaian perangkat teknis ini juga membuat manusia ketagihan, bahkan terobsesi.
Misalnya saja pekan lalu di London, Inggris, dimana terjadi aksi protes masyarakat yang kesulitan mendapatkan perangkat terbaru keluaran Apple Inc., iPad 2. Ribuan orang berteriak agar bisa membawa pulang gadget ini. Tak peduli dengan vendor Apple yang terkenal pelit dalam memasok perangkatnya, masyarakat tetap rela mengantri demi mendapatkan produk idaman.
Hal sama terjadi saat peluncuran konsol permainan 3DS dari Nintendo, yang menawarkan pencitraan tiga dimensi tanpa kacamata. Bukan rahasia jika dalam ranah teknologi, saat seseorang menemukan perangkat idaman, uang tidak menjadi soal. Yang penting, ia bisa menjadi pihak pertama yang memiliki perangkat itu.
Perangkat teknologi, sebagaimana dilansir Sydney Morning Herald, sudah menggantikan pola hubungan manusia, menumbuhkan kedekatan atau keintiman dengan benda mati. Misalnya, kita memiliki perasaan khawatir saat perangkat game Sonic the Hedgehog tidak sengaja tertabrak meja.
Adapun sebuah studi yang diterbitkan tahun ini menyatakan, masyarakat Inggris menghabiskan waktu rata-rata sembilan jam sehari untuk terhubung dengan perangkat elektronik. Termasuk diantaranya empat jam di komputer, sejam mengkonsumsi televisi, setengah jam di ponsel, 10 menit untuk microwave dan sisanya untuk perangkat elektronik lain.
Meski tidak menutup kemungkinan masyarakat beberapa perangkat teknologi tersebut diakses pada waktu bersamaan. Menonton televisi sambil memanfaatkan ponsel, contohnya. Lalu, apakah teknologi hanyalah menciptakan kecanduan di masyarakat atau memang bagian tak terpisahkan dari kehidupan?
Berdasarkan data yang dihimpun Telegraph, sepertiga warga Inggris menganggap kemampuan menggunakan teknologi merupakan suatu kewajiban. Ini terkait dengan kegiatan sehari-hari seperti memasak, berkebun, berbicara asing dan bekerja.
“Sangat menakjubkan bagaimana kehidupan digital sudah berpengaruh begitu besar dan menciptakan semacam gairah tersendiri bagi masyarakat Inggris,” ujar juru bicara perusahaan perangkat lunak PC Tools, Richard Clooke.
Beberapa penelitian membuktikan, betapa masyarakat dunia mulai kecanduan perangkat teknologi. Ilmuwan di Amerika Serikat (AS) misalnya, menemukan 22% warga mereka mengaku terganggu dengan dering ponsel saat berhubungan seksual.
Menariknya, masyarakat juga mulai memanfaatkan perangkat seluler untuk mengakses perangkat teknologi lain. Pemanas air milik ReadyWhenUR akan aktif bila pengguna mengirim pesan teks singkat (SMS) ke pemanas itu.
Teknologi juga bisa membuat masyarakat berhenti berperang. Seperti pada 2005 lalu, saat pemerintah Finlandia memberi pernyataan bahwa para pecandu komputer dilarang ikut berperang atau melaksanakan dinas militer.
Meskipun teknologi memudahkan kehidupan manusia, muncul kekhawatiran di beberapa kalangan. Majalah New Yorker pernah bahkan memunculkan kartun yang menunjukkan tiga makhluk gua yang duduk bersama di depan tumpukan bara. Terdapat tulisan, “Sebelum kita memiliki api, kita terbiasa untuk berbicara satu sama lain.”
Hal senada juga sempat diungkapkan filsuf terkenal Socrates yang mengecam keberadaan proses tulis menulis. “Ini akan menciptakan tindakan melupakan di jiwa manusia karena mereka tidak lagi memanfaatkan memori. Mereka lebih percaya kepada karakter yang tertulis sehingga tidak mampu mengingat diri mereka sendiri.”
Keberadaan teknologi sebenarnya tak membuat manusia menjadi pintar ataupun bodoh. Pertanyaannya, mungkinkah kita menjadi manusia yang tidak manusiawi? Dalam buku Quest for Identity, Baroness Greenfield yang ahli saraf di Oxford University mengklaim keberadaan teknologi sudah mengubah fungsi otak manusia. “Bahkan untuk produk sesederhana iPod,” tuturnya.
Dalam diri banyak remaja, teknologi sudah menciptakan perubahan perilaku. Keterampilan komunikasi pribadi manusia mulai berkurang dan hilangnya kemampuan untuk berpikir abstrak. Bahkan di abad 21, akan ada teknologi neuro-chip yang mampu mengaburkan batas antara kehidupan dengan mesin yang tidak hidup. “Ini mengaburkan pemahaman antara tubuh manusia dan dunia luar,” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar